Memimpin provinsi terbesar di Indonesia, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dihadapkan pada berbagai macam persoalan. Termasuk di antaranya persoalan seputar air. Sebagai provinsi yang memiliki debit air terbesar, Jawa Barat juga menghadapi persoalan besar terkait hal tersebut. Pasalnya, ketersediaan debit air yang besar tersebut, dewasa ini, kerap mendatangkan musibah.
Setiap kali musim hujan datang, besarnya debit air yang kian bertambah, kerap mengakibatkan banjir di sejumlah daerah. Sementara dikala musim kemarau, debit air yang kemudian menurun drastis, mengakibatkan sejumlah wilayah dilanda kekeringan.
“Hal ini terjadi karena kaidah air tidak lagi terjaga. Air ikut mengalami dampak atas kerusakan lingkungan yang terjadi,” ucap Heryawan saat peringatan Hari Air Sedunia tingkat Jawa Barat di Situ Abidin, Desa Karang Mulya, Kecamatan Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, pada 22 Maret 2018. Kaidah air yang tak lagi terjaga itu keterjagaan kualitas serta kuantitasnya. Sebab dalam kondisi idealnya, air yang mengalir di sungai merata debitnya sejak hulu, ke tengah, juga hingga ke hilir.
Dengan debit yang terjaga kuantitasnya, maka saat ada penambahan ketika musim hujan tak akan lantas mengakibatkan banjir. Selain kuantitas yang terjaga, kualitas air juga sudah semestinya terjaga. Namun kenyataannya kini, ketersediaan air bersih sudah kian sulit. Heryawan pun mengurai data, bahwa di Jabar hanya 73 persen penduduk yang bisa mengakses air bersih.
“Sisanya, air apa yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya. Kondisi ini terjadi, tidak terlepas dari ulah manusia. Manusia yang masih membuang limbah rumah tangga juga hajat ke sungai. Manusia yang membuang limbah pabrik ke sungai tanpa melakukan perlakuan khusus terlebih dulu. “Air punya hak tidak dikotori. Jadi setelah digunakan, harusnya diberikan perlakuan khusus sebelum dibuang kembali ke sungai. Dengan demikian tidak akan terjadi malapetaka, air banyak tapi kotor,” katanya.
Akibat kualitas air yang tak terjaga inilah, akhirnya penyakit bermunculan. Semakin buruk kualitas air, semakin tinggi angka kesakitan yang muncul. “Konsekuensi pemerintah daerah yang tidak bisa menjamin warganya memperoleh air bersih, akhirnya biaya kesehatan di Puskesmas di gratiskan. Tapi kan lebih baik sehat daripada harus sakit meski tidak perlu memusingkan biaya berobatnya,” katanya.
Agar hal-hal buruk yang muncul karena terlanggarnya kaidah air tidak terus terjadi, maka Heryawan pun mengajak semua warga untuk mulai peduli akan air. Caranya dengan menjaga dan mengembalikan kelestarian alam. Daerah hulu juga wilayah tangkapan sungai dihijaukan dengan menanami pohon-pohon pelindung.
Dengan demikian saat hujan turun, airnya bisa diserap tanah, dan kembali dialirkan ke sungai secara wajar. Sementara untuk menjaga kualitas, segera hentikan perilaku buruk pada air. Jangan buang limbah apa pun ke sungai. Sungai ada bukan untuk dijadikan tempat penampungan berbagai hal yang tak diinginkan. “Ubah perilaku sejak sekarang sebelum air kian rusak. Sebab tanpa air, tak akan ada pula kehidupan. Airlah yang menjamin segala kehidupan di muka bumi,” katanya. (NAY)***