Pemanasan global berimbas pada perubahan iklim dan berpengaruh besar terhadap ketersediaan air. Hal ini mengakibatkan kekeringan ekstrem sejak 2020.
Negara-negara di kawasan Tanduk Afrika, meliputi Somalia, Kenya dan Etiopia, paling merasakan kesulitan air sehingga perlu diplomasi air.
Perubahan iklim ini juga beresiko terhadap negara berkembang, bahkan negara maju. Dalam hal ini, Indonesia pun menghadapi masalah akses air bersih dan irigasi.
Pencemaran sungai, terutama di kota-kota besar, menjadi faktor pemberat persoalan air di Indonesia saat ini dan masa depan.
Maka, Indonesia perlu mengatasi krisis air sekaligus berperan menangani persoalan keadilan akses air di tingkat global. Upaya ini dapat dilakukan melalui diplomasi air.
Diploma air atau water diplomacy, bertujuan untuk menengahi konflik geopolitik dan geo ekonomi di antara negara-negara yang dialiri sumber air, atau disebut sebagai negara riparian.
Namun seiring waktu, bentuk diplomasi air semakin meluas, mencakup kerja sama penyediaan akses air terutama bagi negara-negara berkembang.
Diplomasi air awalnya dilakukan dengan jalur antar negara. Indonesia termasuk negara prioritas tinggi bagi Amerika Serikat untuk mendapatkan bantuan air dan sanitasi.
Diplomasi air dapat dilakukan secara multijalur dengan tetap bertujuan menaikkan kredibilitas suatu negara di mata komunitas internasional. Cara inilah yang dapat ditempuh Indonesia sebagai permulaan diplomasi air tingkat regional ataupun global.
Salah satu contoh adanya jalur negara dengan masyarakat. Dalam jalur ini, isu yang biasa diperhatikan adalah pengelolaan daerah aliran sungai, terutama pengelolaan irigasi lintas daerah. Aspek ini membutuhkan investasi dan transfer teknologi asing yang masif, sehingga selalu menjadi topik sentral dalam diplomasi air.
Sumber: tulisan Dewa Ayu Putu Eva W, Dosen HI Unibraw